JAKARTA, Kontripantura.com — Dalam rapat kerja antara Komisi VI DPR RI bersama Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN di Kompleks Parlemen, Jakarta, Anggota Komisi VI DPR RI Nasim Khan menyampaikan sejumlah sorotan tajam yang mewakili suara pelaku usaha dan UMKM di berbagai daerah. Isu tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, kompleksitas regulasi ekspor-impor, serta kinerja Rumah Kreatif BUMN menjadi fokus utama intervensi politisi dari Dapil III Jawa Timur ini. Rabu (21/05).
Nasim Khan membuka penyampaiannya dengan menyoroti tingginya tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, yang dinilai tidak kompetitif dibandingkan negara lain.
“Kebijakan Amerika itu jelas, umumnya tarif impor dari negara lain dikenakan 10%. Tapi produk dari Indonesia bisa mencapai 32% hingga 42%. Ini mengkhawatirkan, apalagi Amerika adalah salah satu mitra dagang terbesar kita,” tegas Nasim Khan.
Ia mempertanyakan langkah konkret pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, untuk melindungi daya saing produk Indonesia di pasar global. Ia juga mengingatkan bahwa dampaknya bukan hanya pada pelaku ekspor, tetapi pada rantai produksi UMKM di daerah-daerah yang ikut terdampak.
Sorotan kedua datang pada kinerja Rumah Kreatif BUMN (RKB) yang digagas untuk mendukung pengembangan UMKM lokal. Menurut Nasim Khan, keberadaan RKB yang tersebar di ratusan kabupaten/kota banyak yang tidak berjalan aktif.
“Sudah luar biasa, Rumah Kreatif BUMN ada di hampir semua daerah. Tapi banyak yang ‘mati suri’. Harusnya tempat ini menjadi pusat edukasi, pemasaran, dan pembinaan UMKM. Bukan hanya pajangan proyek,” tegasnya.
Ia mendesak Kementerian BUMN untuk turun langsung ke lapangan dan mengevaluasi efektivitas program ini, agar benar-benar menjadi rumah bagi kreativitas dan daya saing pelaku usaha kecil dan menengah.
Nasim Khan juga menyinggung fenomena ekspor produk Indonesia yang legalitasnya tercatat atas nama negara lain, terutama Singapura. Hal ini menimbulkan kebingungan di masyarakat karena produk buatan Indonesia justru dikenal sebagai buatan negara tetangga akibat mekanisme logistik dan dokumen ekspor.
“Ini membuat bingung. Produk kita, tapi ekspor tercatat dari Singapura. Padahal biaya transportasi dan logistiknya bisa jauh lebih mahal. Ini harus segera ditertibkan,” tegasnya.
Ia meminta agar Kementerian Perdagangan membangun sistem ekspor yang kuat dan legalitas yang mendukung branding produk Indonesia di mata dunia.
Isu klasik lain yang kembali diangkat adalah keruwetan regulasi dan perizinan ekspor-impor di Indonesia. Nasim menyampaikan bahwa proses birokrasi yang panjang dan tidak sinkron antarinstansi sering kali membuat pelaku usaha kecil kesulitan.
“Di negara lain, ekspor dan impor bisa cepat. Tapi di kita terlalu banyak fase dan sistem yang saling tumpang tindih. Ini jadi salah satu penyebab mengapa banyak buyer luar enggan langsung ke Indonesia,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa ,penyederhanaan regulasi dan digitalisasi perizinan harus menjadi prioritas untuk mempercepat proses bisnis, meningkatkan investasi, dan membuka lebih banyak akses pasar luar negeri.
Nasim Khan mengingatkan pentingnya hilirisasi industri dalam negeri, terutama untuk sektor pertanian, perikanan, dan tambang. Menurutnya, hilirisasi harus diikuti dengan regulasi yang mendorong keterlibatan pelaku lokal, bukan hanya konglomerasi besar.
“TKDN dan hilirisasi jangan hanya jadi jargon. Harus ada regulasi konkret dan afirmatif untuk pelaku lokal. Mereka perlu diberdayakan dan dilibatkan dalam rantai pasok nasional,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya diplomasi dagang yang cerdas dan progresif, termasuk percepatan ratifikasi perjanjian dagang seperti CEPA dan HAPTA agar Indonesia bisa mengambil posisi strategis di tengah gejolak ekonomi global.
Di akhir penyampainnya, Nasim Khan menegaskan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia ada pada rakyatnya, terutama pelaku UMKM yang produktif dan inovatif.
“Bangsa Indonesia ini bisa membuat, bisa menjual, dan bisa bersaing. Tapi mereka butuh ruang, regulasi yang ramah, dan pendampingan yang nyata. Jangan sampai program bagus seperti RKB atau diplomasi dagang hanya menguntungkan sebagian kelompok,” pungkasnya.
Rapat kerja ini menandai bahwa DPR RI, melalui Komisi VI, terus mendorong akuntabilitas kementerian dalam membangun ekonomi yang berkeadilan dan berbasis kerakyatan. Harapan besar pun tertuju pada sinergi antara Kementerian Perdagangan dan BUMN untuk tidak hanya mengurus angka, tetapi mengurus manusia dan harapan di balik angka-angka itu.
Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur
+6282222211086
admin@kontripantura.com
©2025 Kontri Pantura. All Rights
Reserved.
Design by HTML Codex
Distributed by ThemeWagon