Komite Reformasi Polri Dibentuk, Kasus Tambang Ilegal di Asta Tinggi Sumenep Jadi Sorotan


JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto tengah menyiapkan pembentukan Komite Reformasi Polri, sebuah langkah strategis yang diharapkan dapat menjadi titik tolak reformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Komite ini dibentuk sebagai respons atas desakan publik pasca rentetan peristiwa yang menyoroti kinerja dan akuntabilitas Polri, termasuk unjuk rasa yang berakhir ricuh pada akhir Agustus lalu.

Namun di tengah euforia wacana reformasi, muncul perhatian terhadap sejumlah kasus yang tak kunjung tersentuh penegakan hukum secara tuntas. Salah satunya adalah kasus dugaan tambang ilegal di kawasan religi Asta Tinggi, Sumenep, Madura, yang telah dilaporkan sejak awal 2023 namun belum menunjukkan perkembangan signifikan.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa Komite Reformasi Polri akan terdiri dari sembilan orang tokoh nasional, yang mewakili unsur masyarakat, hukum, serta mantan pejabat tinggi negara. Salah satu nama yang telah menyatakan kesediaan adalah Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

“Alhamdulillah beliau menyampaikan kesediaan untuk ikut bergabung,” kata Prasetyo kepada media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Prasetyo belum mengungkapkan siapa yang akan menjadi ketua komite maupun siapa saja anggota lainnya, namun ia memastikan bahwa hasil kerja komite akan menjadi referensi penting dalam revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029.

Menanggapi rencana ini, pegiat antikorupsi asal Madura, HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy, yang dikenal dengan nama Gus Lilur, menyampaikan dukungannya terhadap langkah Presiden Prabowo. Namun, ia menekankan pentingnya komite ini bekerja tidak hanya di atas kertas, tetapi juga menyentuh persoalan nyata di lapangan.

“Kita semua mencintai institusi Kepolisian. Tapi cinta itu juga berarti berani untuk melakukan koreksi dan pembenahan,” ujar Gus Lilur saat ditemui di Surabaya, Senin (29/9/2025).

Gus Lilur menyoroti lambatnya penanganan sejumlah kasus pertambangan ilegal yang diduga melibatkan jaringan luas dan sulit disentuh hukum. Salah satu kasus yang ia sebut adalah aktivitas pertambangan galian C yang diduga ilegal di kawasan Lamak Asta Tinggi, Sumenep, Madura, sebuah kawasan yang dianggap sakral dan bersejarah.

“Ini bukan hanya soal perizinan, tapi juga soal nilai. Lokasi tambang itu dekat dengan situs religi yang sangat dihormati masyarakat Sumenep,” tegasnya.

Kasus pertambangan ilegal di kawasan Asta Tinggi Sumenep tersebut pertama kali dilaporkan oleh Yayasan Panembahan Somala (YPS), lembaga yang menaungi lahan dan situs makam keluarga kerajaan Sumenep.

Ketua YPS, RB Moh Amin, menjelaskan bahwa laporan pertama diajukan ke Polres Sumenep pada 6 Februari 2023, dengan nomor pengaduan 03/YPS/III/2023. Kemudian, pada 19 Juni 2024, pihaknya kembali melapor ke Ditreskrimsus Polda Jawa Timur dengan nomor 17/YPS/VI/2024.

“Namun sejak laporan pertama, tidak ada perkembangan yang signifikan. Aktivitas tambang masih terus berjalan hingga kini,” kata Amin.

Menurut Amin, laporan yang kedua akhirnya dilimpahkan kembali ke Polres Sumenep. Bahkan, pada 30 Desember 2024, penyidik disebut telah melakukan pengecekan ke lokasi dan menemukan adanya alat berat yang tengah beroperasi di lahan tersebut.

“Tapi setelah itu, tidak ada tindak lanjut. Sampai 19 September 2025 lalu, kami masih melihat aktivitas alat berat di lokasi yang sama. Kami memiliki bukti dokumentasi berupa foto dan video.” ujar Amin.

Yayasan tersebut juga mengklaim memiliki bukti sah kepemilikan tanah, yang memperkuat klaim bahwa aktivitas tambang tersebut dilakukan di atas lahan milik mereka.

Kasus ini menjadi salah satu contoh yang disorot oleh masyarakat sipil sebagai tolok ukur keseriusan Komite Reformasi Polri. Gus Lilur berharap agar komite nantinya memiliki akses langsung terhadap laporan-laporan masyarakat yang mandek di level daerah.

“Kalau komite ini hanya fokus pada peraturan, tapi tidak menyentuh penyimpangan praktik di lapangan, maka tidak akan banyak berubah,” sambung Gus Lilur.

Ia juga mendorong agar komite melibatkan unsur masyarakat daerah dalam proses pendengaran publik, sehingga reformasi yang dihasilkan benar-benar merespons persoalan nyata.

“Kalau mau dengar suara rakyat, datanglah ke tempat seperti Madura. Lihat langsung kasus seperti di Asta Tinggi ini. Itu akan jadi pembelajaran berharga,” tutupnya.

Jurnalis : uvi
551
Kontak Kami

Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur

+6282222211086

admin@kontripantura.com

Ikuti Kami

©2025 Kontri Pantura. All Rights Reserved.
Design by HTML Codex Distributed by ThemeWagon