SITUBONDO – Aliran sungai di Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, kini menyimpan luka tersembunyi. Di balik dalih "normalisasi", tanah uruk dan sirtu (pasir batu) dari sungai yang seharusnya dijaga untuk kepentingan ekologis justru diduga diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Aktivitas ini telah berlangsung lebih dari satu bulan, tanpa papan informasi kegiatan, dan memunculkan pertanyaan besar: siapa yang bermain di balik nama proyek?
Berdasarkan hasil investigasi tim KontriPantura.com, aktivitas "normalisasi" dilakukan dengan menggunakan dua unit alat berat excavator milik Dinas PU Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jawa Timur. Setiap hari, sejumlah dump truk tanpa identitas resmi tampak keluar masuk area sungai, memuat material pasir, batu, dan tanah hasil kerukan yang mencapai puluhan rit per hari.
“Galiannya sudah mencapai kedalaman 4 hingga 5 meter, dan panjangnya ratusan meter. Tapi tidak ada papan proyek. Kami curiga ini bukan sekadar normalisasi biasa,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya. Selasa (17/06(.
Secara administratif, kegiatan pengerukan sungai oleh instansi pemerintah dalam rangka normalisasi seharusnya diiringi dengan transparansi: adanya papan informasi, penjelasan teknis proyek, batas waktu pekerjaan, serta pengawasan dari dinas terkait dan masyarakat. Namun faktanya, pekerjaan ini dilakukan diam-diam dan tertutup.
Material hasil kerukan diduga tidak ditampung untuk kepentingan proyek lingkungan, tetapi dijual ke pihak luar, termasuk ke proyek perumahan dan bahkan disebut-sebut dikirim hingga ke wilayah Mangaran, dengan dalih “untuk pembangunan masjid”.
Jika dugaan ini benar, maka praktik ini berpotensi melanggar sejumlah peraturan, di antaranya:
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur penggunaan ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai – melarang pemanfaatan sumber daya sungai secara eksploitatif yang bisa merusak ekosistem dan aliran air.
Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 – tentang penetapan garis sempadan sungai, termasuk larangan aktivitas pertambangan di sempadan dan alur sungai.
Ketiga aturan ini secara tegas menyebut bahwa hasil material dari normalisasi sungai tidak boleh diperjualbelikan, apalagi jika digunakan untuk kepentingan komersial tanpa mekanisme pelepasan negara yang sah.
Keresahan mulai tumbuh di tengah masyarakat Desa Klatakan. Selain hilangnya fungsi ekologis sungai, dampak lain yang dirasakan adalah kerusakan akses jalan desa, polusi debu, dan hilangnya rasa keadilan ketika sumber daya desa justru dijarah atas nama pembangunan.
“Kalau betul ini dikelola negara, harusnya transparan. Tapi ini kayak proyek siluman. Truk keluar masuk terus tiap hari, pastinya berpotensi kerusakan jalan dan debu yang menggangu kesehatan, terus siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan terhadap jalan yang di bangu dengan Dana Deda, atau APBD,” keluh warga lainnya.
Pertanyaan serius kini mengarah pada pengawasan dari Dinas PU SDA Provinsi Jawa Timur, Pemkab Situbondo, serta aparat penegak hukum: mengapa aktivitas ini dibiarkan berjalan tanpa pengawasan ketat, padahal sangat jelas memiliki unsur eksploitasi sumber daya alam yang tidak sesuai dengan prosedur?
Apa yang terjadi di sungai Klatakan hanyalah satu potret kecil dari wajah tambang ilegal berkedok proyek negara. Jika benar tanah dan sirtu dari sungai diperjualbelikan, maka ini bukan hanya soal pelanggaran teknis, tapi juga bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap fungsi lingkungan hidup dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya.
Kini publik menanti: Akankah Pemerintah Provinsi, DPRD, APH, dan lembaga lingkungan bersuara? Ataukah kasus ini akan tenggelam, seperti pasir yang terus diangkut tanpa jejak ke luar desa?
Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur
+6282222211086
admin@kontripantura.com
©2025 Kontri Pantura. All Rights
Reserved.
Design by HTML Codex
Distributed by ThemeWagon