Dari Anak Petani Dusun hingga Pengusaha Pangan di Vietnam, Khalilur Sahlawiy Siap Guncang Perdagangan Beras Premium


SITUBONDO – Sepuluh tahun lalu, Khalilur R Abdullah Sahlawiy menolak mentah-mentah ajakan rekan-rekannya untuk menggeluti bisnis beras di Vietnam. Lahir dan besar di lingkungan keluarga petani pemilik sawah ratusan hektar di sebuah dusun di Situbondo, Jawa Timur, Khalilur justru merasa jenuh dengan segala hal yang berkaitan dengan pertanian.

"Saya ini orang dusun. Rumah saya dikelilingi sawah milik eyang. Timur, barat, utara, selatan semua sawah. Saya sudah kenyang dengan urusan sawah," kenang Khalilur atau yang mendapat gelar Kanjeng Pangeran (KP) Edo Yudha Negara menceritakan perjalanannya ke Vietnam pertama kali pada tahun 2013 dan awal mula menapaki dunia bisnis dua tahun kemudian.

Namun perjalanan waktu membawanya kembali ke titik awal. Setelah hampir satu dekade mengembangkan usaha tambang dan budidaya perikanan, khususnya lobster, di berbagai negara termasuk Vietnam, Khalil kini justru kembali ditawari untuk terjun ke perdagangan beras, kali ini oleh para pelaku usaha besar di Vietnam yang juga merupakan mitranya dalam bisnis batubara dan lobster.

Menurut KP Edo Yudha Negara , hubungan dagang antara Indonesia dan Vietnam kini berpusat pada tiga sektor utama: pertanian (beras), pertambangan (batubara), dan perikanan (lobster dan hasil laut lainnya). Dalam posisi sebagai pelaku usaha di tiga sektor tersebut, Khalil melihat peluang untuk ikut serta, khususnya dalam perdagangan beras premium.

“Saya anti impor beras CBP (Cadangan Beras Pemerintah). Itu menyakiti petani. Tapi beras khusus adalah pasar tersendiri yang tidak bersinggungan dengan gabah petani kita,” tegasnya.

Ia merujuk pada fakta bahwa sebagian besar beras khusus yang diimpor Indonesia adalah beras dengan kualitas super premium, yang harganya jauh di atas rata-rata harga beras dalam negeri. "Harganya bisa mencapai Rp 25.000 hingga Rp 65.000 per kilogram. Tidak banyak petani Indonesia yang menanam padi dengan spesifikasi seperti itu," jelasnya.

Pemerintah Indonesia, menurutnua, telah menetapkan kuota impor beras khusus pada tahun 2025 sebesar sekitar 420.000 ton. Volume ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pasar niche, seperti hotel, restoran, dan industri makanan tertentu.

Dalam kunjungannya ke Vietnam Selatan baru-baru ini, KP Edo Yudha Negara mengunjungi tiga provinsi utama penghasil beras di kawasan Delta Mekong, yaitu Dong Thap, An Giang, dan Can Tho. Ia menyaksikan sendiri betapa masif dan modernnya industri penggilingan padi di Vietnam.

"Di tiga provinsi itu, terdapat ribuan pabrik padi. Infrastruktur mereka luar biasa. Ini jadi pelajaran penting bagi saya bahwa Indonesia bisa melakukan hal serupa," katanya.

Ia mengaku terinspirasi untuk mulai membangun pabrik-pabrik padi modern di berbagai kabupaten di Indonesia. Tak hanya itu, Khalil juga bermimpi untuk terlibat aktif dalam pencetakan sawah-sawah baru seperti yang dilakukan sejumlah konglomerat Indonesia di Papua.

Selama lebih dari satu dekade terakhir, Khalil telah mendirikan berbagai perusahaan di sektor pangan, pertambangan, dan perikanan. Kini, seluruh perusahaan tersebut disatukan dalam sebuah induk bernama BAPANTARA Grup atau Bandar Pangan Nusantara Grup, yang menurutnya siap menjadi tulang punggung distribusi pangan Indonesia ke depan.

“BAPANTARA Grup kini telah menaungi 18 anak perusahaan. Kita sedang bersiap untuk ekspansi lebih luas,” jelas Khalil.

Bagi Khalil, keterlibatannya dalam industri pangan bukan semata urusan keuntungan bisnis. Ia membawa misi sosial dalam setiap langkahnya.

“Negara agraris seperti Indonesia seharusnya tidak membiarkan ada rakyat yang kelaparan karena tidak mampu membeli beras. Itu bukan hanya soal ketahanan pangan, tapi soal keadilan sosial,” tegasnya.

Ia juga berharap pemerintah lebih bijak dalam menyikapi persoalan impor pangan, terutama beras. Menurutnya, pembagian antara beras CBP dan beras khusus harus dipahami dengan baik agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi petani.

“Impor beras CBP seharusnya menjadi pilihan terakhir. Kita perlu melindungi harga gabah petani. Tapi kita juga harus realistis bahwa ada segmen pasar yang memang membutuhkan jenis beras yang belum bisa diproduksi dalam negeri,” ungkapnya.

Edo Yudha Negara mengaku, perjalanan bisnisnya selama ini telah membawanya menjauh dari akar pertanian yang menjadi bagian penting dalam keluarganya. Namun justru dari Vietnam, keinginannya untuk kembali menjadi petani besar kembali tumbuh.

"Tekad saya untuk kembali menjadi petani besar kini semakin kuat. Saya ingin terlibat dalam transformasi sektor pertanian Indonesia, baik dari sisi produksi, pengolahan, hingga distribusi," katanya.

Dengan semangat itu, Pebisnis muda asal Situbondo mengakhiri wawancara dengan pernyataan lugas:

"Bismillah. Saya akan kembali ke sawah, bukan sebagai petani kecil, tapi sebagai bagian dari perubahan besar untuk negeri."pungkasnya.


Jurnalis : Yupinka
566
Kontak Kami

Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur

+6282222211086

admin@kontripantura.com

Ikuti Kami

©2025 Kontri Pantura. All Rights Reserved.
Design by HTML Codex Distributed by ThemeWagon