BPK Ungkap Dua Dosa Besar BPJS Kesehatan


Gedung BPJS Kesehatan. (foto : istimewa)

JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan peringatan keras kepada BPJS Kesehatan atas dua persoalan fundamental dalam penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Laporan hasil pemeriksaan kinerja itu menyebutkan adanya dua kelemahan utama atau yang disebut sebagai “dosa besar”, yang berpotensi menghambat tujuan besar Indonesia dalam mencapai cakupan kesehatan universal (UHC) bagi seluruh rakyat.


Pemeriksaan ini dilakukan secara menyeluruh terhadap BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, serta 47 pemerintah daerah dan instansi lain yang terlibat dalam ekosistem pelayanan kesehatan. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen BPK untuk mengawal agenda pembangunan nasional (PN-3) di bidang peningkatan sumber daya manusia dan prioritas pembangunan (PP-3) tentang peningkatan akses dan mutu layanan kesehatan. Secara global, pemeriksaan ini juga menjadi kontribusi Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-3, khususnya target 3.8 mengenai akses kesehatan semesta.


Permasalahan pertama yang disorot BPK adalah buruknya pengaturan kebijakan layanan operasi katarak, khususnya tindakan fakoemulsifikasi, yaitu teknik modern untuk mengatasi katarak. Ironisnya, meski menjadi salah satu layanan prioritas yang sangat dibutuhkan, terutama oleh lansia dan kelompok rentan, kapasitas layanan ini tidak dikelola secara optimal.


Menurut laporan BPK, antrean panjang masih menjadi pemandangan umum di rumah sakit rujukan. Di sejumlah wilayah, ketimpangan antara jumlah pasien dan dokter spesialis mata menjadi penyebab utama. Tak hanya itu, ketidakkonsistenan kebijakan antarwilayah menyebabkan ketidakpastian bagi peserta JKN yang hendak mendapatkan tindakan medis penting ini.


“Permasalahan tersebut mengakibatkan terbatasnya akses peserta untuk mendapatkan layanan operasi katarak secara umum dan/atau khususnya tindakan fakoemulsifikasi yang dapat meningkatkan risiko komplikasi serta gangguan produktivitas,” tulis BPK dalam laporannya.


BPK pun merekomendasikan kepada Direktur Utama BPJS Kesehatan untuk segera melakukan evaluasi kebijakan pengaturan kapasitas fakoemulsifikasi di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), terutama di daerah yang mengalami antrean, namun tidak terdapat indikasi penyalahgunaan (moral hazard).


Permasalahan kedua justru menunjukkan wajah lain dari ketimpangan: kesulitan warga di pelosok negeri untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar. BPK menyebut istilah DBTFMS (Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan Memenuhi Syarat) sebagai indikator wilayah-wilayah yang masih sangat tertinggal dalam layanan JKN.


Sayangnya, BPJS Kesehatan belum menetapkan wilayah-wilayah ini secara jelas dalam Surat Keputusan Pertimbangan, sehingga pemberian kompensasi dan penyesuaian layanan pun menjadi tidak maksimal.


Bahkan, di beberapa daerah, puskesmas memang ada secara fisik, namun tanpa tenaga medis. Kegiatan kunjungan dokter dan tenaga kesehatan juga belum dilakukan secara optimal. Akibatnya, peserta JKN di daerah tersebut tidak bisa menikmati hak dasarnya untuk memperoleh layanan kesehatan, meskipun mereka telah membayar iuran setiap bulan.


“Pemberian kompensasi berupa akses pelayanan di wilayah DBTFMS belum memadai dan berkesinambungan,” tegas BPK.


BPK merekomendasikan agar BPJS Kesehatan segera melakukan pemetaan dan penilaian awal terhadap seluruh wilayah kerja yang masuk kategori DBTFMS, dan mengambil kebijakan afirmatif untuk menjamin keberlanjutan pelayanan di daerah tersebut.


Secara keseluruhan, BPK mencatat adanya 17 temuan signifikan yang mengarah pada 20 bentuk ketidakefektifan dalam pengelolaan program JKN. Meski BPJS Kesehatan telah menjalin kerja sama dengan 23.395 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 3.152 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), jumlah tersebut belum mampu menjawab kesenjangan besar di lapangan.


Banyak peserta JKN di berbagai wilayah masih mengeluhkan akses yang sulit, antrean panjang, kualitas layanan yang rendah, hingga minimnya ketersediaan tenaga medis dan alat kesehatan.


Temuan BPK ini menjadi tamparan keras di tengah narasi besar pemerintah mengenai peningkatan kualitas SDM dan jaminan kesehatan semesta. JKN adalah hak dasar, bukan sekadar program teknokratis. Jika dua masalah utama ini tidak segera dibenahi, maka tujuan besar Indonesia dalam menciptakan sistem jaminan kesehatan yang adil dan inklusif akan tetap menjadi janji kosong.


Perbaikan menyeluruh perlu dilakukan, bukan hanya dengan menambah jumlah fasilitas, tetapi juga memastikan distribusi yang merata, kualitas layanan yang manusiawi, serta kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan lokal.


Jurnalis : UV/JJ
133
Kontak Kami

Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur

+6282222211086

admin@kontripantura.com

Ikuti Kami

©2025 Kontri Pantura. All Rights Reserved.
Design by HTML Codex Distributed by ThemeWagon