Dalam beberapa tahun
terakhir, ilmu pengetahuan alam semakin sering hadir dalam ruang budaya populer.
Film seperti Interstellar, The Martian, hingga serial The Big
Bang Theory membuktikan bahwa sains kini tak hanya berada di ruang
laboratorium atau buku pelajaran. Kini, ia hadir dalam visual yang menarik,
tokoh-tokoh yang cerdas, dan alur cerita fiksi yang menegangkan.
Fenomena ini tentu patut
disoroti. Ilmu pengetahuan tampil sebagai bagian dari hiburan yang dirancang
sedemikian rupa untuk menarik perhatian banyak orang. Di satu sisi, ini
memberikan kesempatan besar dalam mengenalkan sains kepada masyarakat luas.
Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan: sejauh mana fakta ilmiah dikorbankan
demi alur cerita yang dramatis?
Beberapa karya fiksi
ilmiah berhasil menjaga keseimbangan antara kebenaran ilmiah dan kreativitas
cerita. The Martian misalnya, mendapatkan banyak apresiasi karena
menggambarkan kehidupan di Mars dengan pendekatan ilmiah yang cukup akurat.
Film ini bahkan menggandeng NASA dalam proses produksinya. Sebaliknya, film
seperti Armageddon menampilkan misi luar angkasa dengan pendekatan sains
yang sangat longgar. Menarik? Tentu. Sesuai kenyataan? Tidak juga.
Penggambaran sains dalam
media populer juga berkontribusi terhadap citra ilmuwan di tengah masyarakat.
Tokoh seperti Tony Stark dalam Avengers maupun Sheldon Cooper
menciptakan sosok ilmuwan yang digambarkan sebagai jenius dan problem solver
dalam setiap kondisi. Gambaran ini bisa sangat memotivasi, khususnya bagi anak
muda. Banyak remaja yang akhirnya tertarik pada dunia sains dan teknologi
setelah mengenal karakter-karakter fiktif tersebut.
Namun, euforia itu
memiliki sisi rentan. Jika informasi ilmiah diserap tanpa pemahaman yang cukup,
bisa muncul kesalahpahaman. Representasi ilmu pengetahuan dalam budaya populer
tidak selalu mencerminkan kenyataan ilmiah. Tak jarang, konsep yang rumit
disajikan secara berlebihan atau bahkan keliru. Karena itu, literasi sains
menjadi sangat penting agar publik bisa memilah antara yang benar dan yang
fiktif, serta tak mudah terjebak oleh hoaks yang berkedok sains.
Saat ini, banyak ilmuwan
dan pendidik mulai terlibat aktif di ranah digital. Mereka hadir di media
sosial, menyajikan konten edukatif, menjawab pertanyaan publik, hingga
meluruskan informasi yang salah. Kolaborasi antara ilmuwan dan pelaku industri
hiburan semakin dibutuhkan agar konten hiburan yang dihasilkan tidak hanya seru
ditonton, tapi juga memberi pengetahuan.
Budaya populer punya
potensi besar sebagai penghubung antara dunia sains dan masyarakat umum. Tapi
agar jembatan ini kuat dan tidak menyesatkan, perlu kerja sama dari berbagai
pihak—kreator, ilmuwan, media, dan masyarakat sendiri—untuk membangun budaya
berpikir kritis dan semangat belajar yang tinggi.
Menikmati film atau
serial fiksi ilmiah tentu tidak salah. Tapi penting untuk tetap menyadari bahwa
tidak semua yang terlihat ilmiah benar secara fakta. Di antara kenyataan dan
rekaan, kita perlu tetap berpijak pada pengetahuan agar tidak tersesat. Sebab
di era yang terus berkembang, memahami sains bukan lagi sekadar pilihan—tapi
keharusan. (Oleh:
Moh. Raihan Nur Islami|Ekonomi Pembangunan|Universitas Muhammadiyah Malang)
Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur
+6282222211086
admin@kontripantura.com
©2025 Kontri Pantura. All Rights
Reserved.
Design by HTML Codex
Distributed by ThemeWagon