Antara Fakta dan Imajinasi: Menempatkan Ilmu Alamiah dalam Budaya Populer


Moh. Raihan Nur Islami

Dalam beberapa tahun terakhir, ilmu pengetahuan alam semakin sering hadir dalam ruang budaya populer. Film seperti Interstellar, The Martian, hingga serial The Big Bang Theory membuktikan bahwa sains kini tak hanya berada di ruang laboratorium atau buku pelajaran. Kini, ia hadir dalam visual yang menarik, tokoh-tokoh yang cerdas, dan alur cerita fiksi yang menegangkan.

Fenomena ini tentu patut disoroti. Ilmu pengetahuan tampil sebagai bagian dari hiburan yang dirancang sedemikian rupa untuk menarik perhatian banyak orang. Di satu sisi, ini memberikan kesempatan besar dalam mengenalkan sains kepada masyarakat luas. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan: sejauh mana fakta ilmiah dikorbankan demi alur cerita yang dramatis?

Beberapa karya fiksi ilmiah berhasil menjaga keseimbangan antara kebenaran ilmiah dan kreativitas cerita. The Martian misalnya, mendapatkan banyak apresiasi karena menggambarkan kehidupan di Mars dengan pendekatan ilmiah yang cukup akurat. Film ini bahkan menggandeng NASA dalam proses produksinya. Sebaliknya, film seperti Armageddon menampilkan misi luar angkasa dengan pendekatan sains yang sangat longgar. Menarik? Tentu. Sesuai kenyataan? Tidak juga.

Penggambaran sains dalam media populer juga berkontribusi terhadap citra ilmuwan di tengah masyarakat. Tokoh seperti Tony Stark dalam Avengers maupun Sheldon Cooper menciptakan sosok ilmuwan yang digambarkan sebagai jenius dan problem solver dalam setiap kondisi. Gambaran ini bisa sangat memotivasi, khususnya bagi anak muda. Banyak remaja yang akhirnya tertarik pada dunia sains dan teknologi setelah mengenal karakter-karakter fiktif tersebut.

Namun, euforia itu memiliki sisi rentan. Jika informasi ilmiah diserap tanpa pemahaman yang cukup, bisa muncul kesalahpahaman. Representasi ilmu pengetahuan dalam budaya populer tidak selalu mencerminkan kenyataan ilmiah. Tak jarang, konsep yang rumit disajikan secara berlebihan atau bahkan keliru. Karena itu, literasi sains menjadi sangat penting agar publik bisa memilah antara yang benar dan yang fiktif, serta tak mudah terjebak oleh hoaks yang berkedok sains.

Saat ini, banyak ilmuwan dan pendidik mulai terlibat aktif di ranah digital. Mereka hadir di media sosial, menyajikan konten edukatif, menjawab pertanyaan publik, hingga meluruskan informasi yang salah. Kolaborasi antara ilmuwan dan pelaku industri hiburan semakin dibutuhkan agar konten hiburan yang dihasilkan tidak hanya seru ditonton, tapi juga memberi pengetahuan.

Budaya populer punya potensi besar sebagai penghubung antara dunia sains dan masyarakat umum. Tapi agar jembatan ini kuat dan tidak menyesatkan, perlu kerja sama dari berbagai pihak—kreator, ilmuwan, media, dan masyarakat sendiri—untuk membangun budaya berpikir kritis dan semangat belajar yang tinggi.

Menikmati film atau serial fiksi ilmiah tentu tidak salah. Tapi penting untuk tetap menyadari bahwa tidak semua yang terlihat ilmiah benar secara fakta. Di antara kenyataan dan rekaan, kita perlu tetap berpijak pada pengetahuan agar tidak tersesat. Sebab di era yang terus berkembang, memahami sains bukan lagi sekadar pilihan—tapi keharusan. (Oleh: Moh. Raihan Nur Islami|Ekonomi Pembangunan|Universitas Muhammadiyah Malang)

Jurnalis : Redaksi
92
Kontak Kami

Pesisir Utara gang 7, Desa Kilensari Kec. Panarukan Kab. Situbondo, Jawa Timur

+6282222211086

admin@kontripantura.com

Ikuti Kami

©2025 Kontri Pantura. All Rights Reserved.
Design by HTML Codex Distributed by ThemeWagon